
Banyak hal yang bisa aku ceritakan soal ayah dan ibuku dan hal ini berbanding terbalik dengan saudara-saudaraku. Aku enggak punya banyak cerita yang berkesan mendalam dengan mereka. Maklum sedari kecil aku tidak terbiasa dididik untuk berkomunikasi lancar dalam keluarga.
INDIGO. Aku bilang keluargaku seperti orang indigo. Bukan cacat mental atau bisa melihat makhluk halus tapi kami terbiasa punya dunia sendiri dan siapa pun enggak boleh menganggu dunia satu sama lain.
Aku terbiasa pulang sekolah untuk masuk kamar dan tidur siang atau apapun aku lakukan semuanya di kamar.
Adik-adikku juga punya dunia sendiri, hanya saja mereka sedikit waras karena mereka masih berkomunikasi dengan isi rumahku, entah itu nenek, ayah, atau tanteku. Mereka sudah nyaman main berdua walaupun umur mereka terpaut agak jauh, 4tahun. Mereka kreatif, apa saja yang ada di sekitar mereka bisa mereka jadikan mainan. Kadang nenekku suka naik darah karena ulah mereka.
Aku punya kakak laki-laki yang terpaut 2 tahun lebih tua dariku. Namanya Dimas. Menurutku dia bukan tipe orang yang care dengan adik-adiknya dan bahkan dia cenderung pendiam kalo di rumah. Dia lebih hobi berkutat di depan komputer untuk sekedar main atau browsing internet. Selain itu yang dia lakukan adalah makan dan tidur.
Kakakku pemalas. Dia enggak suka membersihkan kamarnya dan meninggalkannya dalam keadaan berantakan. Dia pun tidak suka membantu kami ketika kami membersihkan rumah. Ayahku suka kesal karena dia terlalu malas, tapi aku tahu alasan kenapa dia tidak suka membereskan rumah, dia alergi debu. Dia bisa bersin-bersin berhari-hari kalau alerginya kumat.
Kuakui, terkadang aku iri dengan kakakku ini, karena dia anak laki-laki pertama apapun yang dia inginkan gampang dipenuhi.
Waktu kecil ketika aku menonton televisi aku pernah melihat film yang menceritakan pengorbanan seorang kakak terhadap adiknya dan aku ingin seperti itu, tapi sewaktu aku lihat kakakku, ”Mana mungkin Dimas kaya’ gitu?”
Kakakku bukan tipe kakak yang care dengan adik-adiknya. Padahal aku menginginkan seorang kakak yang bisa jadi tempat curhatku, bisa sekedar untuk hangout di malam minggu jika aku enggak punya pacar, sayangnya itu enggak bisa aku dapetin dari Dimas.
Aku enggak pernah bicara sama kakakku di rumah, bahkan di sekolah pun kami seperti tidak saling mengenal, seperti yang aku bilang, kami punya dunia sendiri.
Dari dulu aku juga enggak diajarkan untuk memanggil Dimas dengan panggilan ’kak’ atau semacamnya, tapi secara naluri aku terbiasa memanggilnya ’mas’. Awalnya ’mas’ bukan panggilanku untuk dia sebagai kakak yang memang dalam bahasa Jawa artinya ’kakak’, panggilan ’mas’ itu sebenarnya sepenggal panggilanku dari suku kata belakang namanya Di-mas.
”Dim, mau makan apa lo?” tanyaku pada suatu hari.
”Songong banget lo manggil-manggil gue DIM?” katanya sambil melotot. Ternyata Dimas enggak suka aku memanggilnya dengan ’dim’.
Dimas suka menggambar, entah apapun itu dan semakin lama kemampuannya berkembang. Aku suka gambar-gambarnya walaupun dia terlalu pelit ketika aku meminta tolong untuk menggambar sesuatu untuk tugas gambarku.
”Bayar dulu!” Itu katanya kalo aku minta dia melakukan sesuatu untukku.
Waktu aku masih kecil aku tergolong orang yang pelit, maklum namanya masih kecil uang itu kan benda mewah.
Bulan januari Dimas ulang tahun, tapi aku tidak begitu ingat ulang tahunnya yang keberapa. Dengan uang yang aku punya aku mengajak ibuku pergi ke sebuah toko untuk membeli kado untuk Dimas.
Aku tahu dia suka menggambar dan aku lihat buku tebal besar bergaris di toko itu. Warnanya biru, warna kesukaan Dimas. Rp 58.000,- harga bukunya, uangku cukup (kamu bisa pikir kan betapa banyaknya uang itu di tangan seorang anak TK tahun ’90an?). Aku berikan buku itu padanya di tanggal 8 pada bulan Januari, tepat di hari ulang tahunnya. ”Tengkyu ya,” katanya saat dia menerima kadoku itu. Ekpresi minim, tapi aku senang dia suka.
Ada satu gambarnya yang paling kusuka, gambar mayoret tengkorak di gambar album band My Chemical Romance, band favoritnya. Kupikir itu gambar yang keren.
Aku ingat sewaktu aku masuk SMA, Dimas duduk di bangku kelas 3. Aku masuk di sekolah yang sama dengannya lagi (perlu kalian tahu, mulai dari TK sampai SMA aku satu sekolah dengannya). Waktu MOS (Masa Orientasi Siswa) hampir semua senior mengenaliku, ”adeknya Dimas?” begitu kira-kira pertanyaan yang meluncur dari seniorku.
Aku juga ingat ketika dia masuk SMA aku membantunya mewarnai buku MOS-nya sendirian dan dia mengerjakan hal yang lain untuk MOS sampai subuh tiba.
Dimas memang enggak perhatian tapi aku cukup berterima kasih dengannya, dia yang membantuku mewarnai buku MOS-ku. Hal kecil, tapi itu sangat membantu. Enggak cuma itu, Dimas juga dapat bocoran soal MOS untukku supaya aku bisa lebih baik mempersiapkan diri dan enggak jadi sasaran omelan teman-temannya. Aku menangis ketika aku merasa stres karena enggak sanggup mengerjakan semua tugas MOS hari pertama. Dimas menelpon sahabatnya, ketua MOS tahunku untuk memberikan jalan keluar.
”Lo udah apal belom mars FV sama yel-yelnya ?” tanya Dimas.
”Yailah, Mas! Ngerjain ini aja belom gimana ngapalin?” jawabku sambil makin kencang menangis dan Dimas membentakku karena aku terlalu cengeng.
Sabtu, 1 November 2007. Entah apa aku lagi sial atau Dimas yang sial. Dimas dan aku mengalami kecelakaan motor. Motor kami menabrak trotoar dan kami terseret beberapa meter. Aku enggak mengalami luka serius, hanya lecet-lecet pada bagian tangan dan kaki kiri.
Enggak ada yang nolong kami saat itu, cuma ada seorang bapak-bapak lari-lari menghampiri kami sambil membawa motor kami ke pinggir jalan.
Mungkin karena syok kami duduk di trotoar saking enggak tahu mau ngapain.
”Lo enggak papa kan, Wi? Sumpah sori banget, sori gue enggak tau,” kata Dimas sambil meyakinkan aku baik-baik saja, ”enggak parah kan luka lo?” Aku cuma bisa mengangguk sambil membersihkan debu di lukaku, ”enggak apa-apa, cuma lecet doang.”
Berulang kali Dimas bilang ’sori’ dan meyakinkan supaya aku baik-baik saja. Hey, kalian tahu? Kakakku yang sombong ini memegang tanganku saat memastikan aku baik-baik saja. Bahkan bersentuhan kulit saja aku jarang.
”Celana lo bolong, Mas di bagian dengkul,” kataku. Kupikir tidak ada luka di sana, ternyata lukanya cukup besar sampai bernanah.
Dimas menelpon ayah untuk mengabarkan kami kecelakaan dan tak lama ayah datang menjemput dengan mobil. Untungnya lokasi kami jatuh masih dekat dengan rumah. Aku masih sekolah ketika itu dan Dimas memilih untuk mengobati lukanya di rumah.
Semakin dewasa kami semakin jarang tergur sapa. Dimas lebih senang pergi dengan teman atau pacarnya sedangkan aku juga punya kegiatan lain.
Aku tahu tipikal kakakku ini. Dia mudah tersulut emosi kalo ada masalah. Kami sering bertengkar walaupun tidak setiap hari. Setidaknya terkadang dia tidak suka apa yang aku lakukan.
”Mas, ada telpon,” teriakku. Aku tidak mendengar sautan Dimas karena anjingku menggonggong kencang sekali.
”Mas, telpon dari Dini,” aku berteriak lagi. Dimas turun ke lantai bawah, ”Gue udah jawab, anjing! Enggak denger apa gue udah jawab?” Dimas biasa kok ngomong gini, jadi aku maklum.
”Santai aja kali ngomongnya, gue kan enggak denger lo nyaut,” aku mencoba sabar.
”Diem lo! Bacot!” bentak Dimas.
”Ya udah sih, enggak usah marah-marah,” balasku.
”Diem gak lo! Bangsat!”
Aku enggak ngerasa punya salah sama Dimas waktu itu dan cukup sakit hati juga dengar dia berkata pada aku seperti itu. Walaupun itu hal yang biasa. Akhirnya aku diam.
Aku berumur 17 tahun dan Dimas 19 tahun. Aku lupa tepatnya kapan kejadian ini berlangsung tapi aku hapal mati kejadiannya.
Aku pergi dengan ayah mengambil CPU di tempat temannya dan kebetulan hari itu hari Sabtu, aku pulang sekolah lebih cepat dari biasanya.
Jakarta panas! Ayahku enggak langsung beranjak saat urusannya selesai padahal aku mengantuk. Aku pula yang menggotong CPU dari tempat teman ayah ke parkir dan memangkunya di motor sepanjang perjalan pulang.
Sampai di rumah kudapati Dimas lagi asik browsing dengan laptopnya. Ayahku menyuruhnya untuk memasangkan CPU itu kembali ke komputer. Aku tahu, emosinya lagi labil saat itu. Dia tinggalkan komputer yang sudah terpasang CPU itu begitu saja dan dia masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
Aku mencoba koneksi internetku. Tidak terkonek. Kutelpon ayahku dan ayahku bilang untuk menanyakannya pada Dimas. Aku takut, karena itu aku suruh ayahku ke sini.
Aku enggak berani membangunkan Dimas dan ayahku malah nekat mengetok pintu kamarnya.
”Kamu kurang ajar amat sih, Dimas?!” bentak ayah.
”Apaan sih? Biasa aja kali! Orang ngomongnya juga udah santai. Dimas lagi tidur!” balas Dimas.
Okey, sebenarnya hanya masalah sepele. Ayahku cuma menanyakan nomor telpon operator FASTNET karena hanya Dimas yang simpan nomornya dan mungkin karena dia sedang labil emosinya dia nyolot sama ayah dan ayah pun tersinggung.
Aku mencoba melerai mereka.
”Diem aja lo, Bangsat! Sekali lagi komen gue lempar lo pake kursi!” saut Dimas sambil mengangkat kursi saat aku menyuruh ayahku untuk tidak menghiraukan Dimas. Jujur! Saat itu aku membela Dimas, bukan ayah.
”Gue cm bilang ke ayah kok supaya enggak marah-marah. Salah?” tanyaku.
”BACOT ! DIEM AJA DEH LO! Jangan dikira gue diem gue fine ya! Asal lo tau dari dulu juga gue ga suka sama lo! Tai!” oke, lagi-lagi aku dibentak dan aku mulai menangis. Aku turun ke bawah dan aku menangis di ruang tamu.
Ayahku mencoba memberi pengertian lagi dan mencoba membelaku.
”Dimas ngerasa enggak adil aja, barang yang ngerusakin siapa ya ngebetulin siapa,” Dimas membela diri dan ayahku lagi-lagi memberikan pengertian.
”Sekali-sekali dia kek, yang ngurusin masa’ Dimas terus?” dia yang Dimas maksud adalah aku.
”Makanya kamu ajak dong adek kamu juga kalo mau,” kata ayah.
”Mana mau dia ngajak, kayak dia inget aja punya adek,” aku menyaut.
”Iyalah, mana pernah gue inget punya adek, anak enggak guna!” balasnya.
”Iya gue emang enggak guna, gue tau lo lebih guna dari gue,” balasku sambil susah bernapas karena terlalu banyak menangis.
”Bacot lo! Diem aja deh lo anak enggak guna!” balasnya dengan nada tinggi (lagi)
”Ya, emang gue enggak guna dan lo lebih pinter dari gue,” balasku, tetap sambil menangis.
”Sekali lagi lo jawab beneran gue samperin , gue gampar lo!” ancamnya. Aku diam.
”Apa-apaan sih kamu, Dimas? Kalo kamu enggak suka keluar dari rumah sini!” ayah ikut mengancam Dimas. Dia naik ke atas dan aku ikut naik ke atas. Aku lihat Dimas membereskan bajunya dan menelpon temannya ”Eh, gue nginep di rumah lo ya? Gue diusir nih dari rumah. Keluarga anjing!” kira-kira itu omongannya ditelpon dengan temannya.
”Puas-puasin deh lo maen internet! Seneng kan lo gue minggat?! Puas deh tuh lo maen komputer ampe subuh!” katanya, ”ANJING LO! Tau anjing ga lo!” dia melanjutkan dan terakhir dia meludahiku sebelum dia turun tangga. Aku diam dan menangis.
Dimas mengamuk di bawah dan dia menendang-nendang lemari seperti orang gila. Dia mengeluh capek entah apa yang membuatnya capek dan setelahnya dia keluar pintu gerbang.
Aku pun enggak sanggup menahan emosiku yang sedari tadi ingin membalas kata-kata Dimas, entah aku berteriak untuk apa, yang jelas tujuanku hanya untuk melegakan perasaan, ”PERGI AJA LO! ENGGAK USAH BALIK LAGI! DASAR ENGGAK PUNYA PERASAAN!”
Aku berulang kali berteriak seperti itu dan tak kusangka dia mendengarnya. Dimas kembali masuk ke rumah dan menghampiriku dan menjambak rambutku serta memukulku beberapa kali, ”NGOMONG APA LO TADI , HAH?! NGOMONG DI DEPAN GUE JANGAN NGOMONG DI BELAKANG GUE!” kali ini Dimas benar-benar enggak bisa mengontrol emosi. Belum pernah dia menampar atau menjambakku.
”Gue cuma enggak mau lo pergi dari rumah, gimana pun juga lo kakak gue,” aku juga enggak tau, kalimat ini mengalir begitu saja dari mulutku.
”TAI! BULLSHIT ABIS LO!” itu balasan kata-kataku darinya dan dia pergi keluar dari rumah dan aku hanya bisa menangis.
Entah kenapa aku merasa trauma ketika seminggu kemudian dia kembali ke rumah. Aku takut dia memukulku lagi dan akhirnya aku hanya mengurung diri di kamar. Aku tidak berani melihatnya atau bahkan berbicara padanya.
15 April 2010, kejadian Dimas memukulku sudah lama terjadi dan sekarang sepertinya kami sudah melupakan itu semua. Sampai tepat di tanggal ini aku mimpi soal Dimas. Di mimpi itu dia mengirimiku sms isinya ’gimana ya kalo misalnya gue mati? Gue udah capek nih hidup kaya’ gini’ dan di mimpi itu aku mencoba menyemangati Dimas. Menurutku ini mimpi yang aneh.
Aku memang tidak dekat dengan Dimas, tapi perlu kalian tahu dari semua saudaraku aku paling menyayangi dia. Bodohnya, aku enggak pernah bicara dengannya di rumah, tapi saat dia enggak di rumah aku merasa ada yang kurang.
Aku tidak pernah merasa marah atas perlakukan Dimas waktu itu, bagaimanapun dia kakakku dan aku harus memaafkannya. Aku tidak walaupun saat itu ada sakit hati karena omongan dan perlakukannya....

No comments:
Post a Comment